
Garudamuda.co.id –Dalam dunia hiburan, Marvel’s The Avengers adalah salah satu waralaba paling ikonik dan menguntungkan sepanjang masa. Dari komik, film, hingga merchandise, Avengers telah merajai pasar global dengan kekuatan karakter seperti Iron Man, Captain America, Thor, Hulk, Black Widow, dan Hawkeye.
Namun, ketika Marvel memutuskan untuk membawa tim superhero legendaris ini ke dalam bentuk video game AAA, banyak penggemar menyambutnya dengan antusias tinggi. Harapan pun melonjak ketika Square Enix dan Crystal Dynamics diumumkan sebagai pengembangnya.
Game berjudul Marvel’s Avengers dirilis pada tahun 2020, dan sejak itu menjadi bahan diskusi panjang—bukan karena keberhasilannya, tetapi lebih karena kontroversi dan kegagalannya memenuhi ekspektasi.
Pengembangan dan Janji Awal: Ambisi Game AAA Berbasis Superhero
Marvel’s Avengers diumumkan secara resmi pada ajang E3 2019, setelah beberapa tahun rumor dan spekulasi berkembang. Crystal Dynamics, pengembang di balik seri Tomb Raider yang direboot, dipercaya oleh Square Enix untuk menghidupkan dunia Avengers dalam bentuk game aksi-petualangan berbasis naratif. Dukungan juga datang dari Eidos Montréal, studio yang terkenal dengan seri Deus Ex.
Janji awal game ini sangat ambisius: menghadirkan pengalaman bermain sebagai anggota Avengers, baik dalam misi solo maupun multiplayer co-op, dengan konten yang terus diperbarui secara berkala. Para pemain dijanjikan dapat menggunakan kekuatan ikonik masing-masing pahlawan dalam alur cerita sinematik dan sistem loot berbasis RPG. Tak pelak, penggemar Marvel dan gamer hardcore sama-sama menantikan rilis game ini.
Cerita Utama: Kisah Kamala Khan dan Reuni Avengers
Plot utama Marvel’s Avengers berpusat pada karakter Kamala Khan (Ms. Marvel), seorang remaja penggemar berat Avengers yang mendapatkan kekuatan super setelah peristiwa A-Day—sebuah hari peringatan bagi Avengers yang berujung pada kehancuran San Francisco dan perpecahan tim superhero tersebut.
Kamala memulai perjalanan untuk menyatukan kembali para Avengers dan menghadapi organisasi AIM (Advanced Idea Mechanics) yang kini menguasai dunia dengan teknologi kontrol dan eksperimen biologis.
Cerita ini mendapat pujian karena mencoba menggali sisi kemanusiaan dari para karakter yang sudah sangat dikenal publik. Fokus pada Kamala sebagai karakter baru juga menjadi keputusan segar, karena ia membawa perspektif penggemar ke dalam dunia superhero itu sendiri. Namun, meski narasi memiliki potensi kuat, eksekusinya tidak sepenuhnya mulus karena banyak pemain merasa pacing cerita terganggu oleh sistem permainan yang repetitif.
Gameplay: Perpaduan Aksi, RPG, dan Online Co-op
Secara gameplay, Marvel’s Avengers menggabungkan elemen beat-em-up aksi dengan sistem RPG ringan. Pemain dapat memilih karakter Avengers dengan gaya bertarung masing-masing. Iron Man terbang dan menembakkan misil, Thor menggunakan Mjolnir dengan serangan petir, Captain America memanfaatkan perisai untuk pertahanan dan serangan, Hulk menghancurkan dengan kekuatan brute, dan Black Widow mengandalkan kelincahan serta teknologi.
Setiap karakter memiliki pohon skill (skill tree) yang bisa dikembangkan, dilengkapi dengan item gear dan kosmetik yang bisa diubah. Dalam misi multiplayer, hingga empat pemain bisa bekerja sama menyelesaikan objective tertentu. Namun, banyak kritik datang dari sistem loot dan gear yang tidak terasa berdampak besar, sehingga perburuan item menjadi membosankan.
Mode cerita linear berfungsi baik dalam memperkenalkan karakter, tapi sebagian besar konten endgame terlalu bergantung pada misi berulang (repetitive grinding), desain level yang monoton, dan musuh yang sedikit bervariasi. Hal ini membuat konten endgame tidak mampu mempertahankan pemain dalam jangka panjang.
Masalah Teknis dan Kritik: Awal yang Gagal
Ketika dirilis pada September 2020, Marvel’s Avengers langsung mendapat kritik keras dari komunitas game dan media. Masalah terbesar datang dari sisi teknis: bug, glitch, drop frame, dan error jaringan mengganggu pengalaman bermain. Pemain juga melaporkan bahwa performa game tidak stabil di konsol generasi saat itu, seperti PlayStation 4 dan Xbox One.
Selain itu, desain sistem monetisasi yang kontroversial—terutama penjualan kosmetik dan battle pass untuk tiap karakter—memunculkan tuduhan bahwa Square Enix mencoba mengubah game ini menjadi layanan game-as-a-service (GaaS) tanpa memahami kebutuhan komunitasnya. Banyak yang menilai bahwa sistem loot dan pengembangan karakter lebih menyerupai game mobile daripada RPG konsol AAA.
Tak heran jika basis pemain game ini menurun drastis hanya dalam beberapa minggu setelah peluncurannya. Bahkan pada platform PC, jumlah pemain aktif sempat anjlok di bawah 1.000 pemain per hari, sebuah angka yang sangat rendah untuk game besar.
Konten Tambahan dan Upaya Menyelamatkan Game
Setelah rilis yang mengecewakan, Crystal Dynamics mencoba memperbaiki citra game melalui pembaruan berkala dan ekspansi karakter. Beberapa karakter baru ditambahkan secara gratis, termasuk:
-
Kate Bishop (Hawkeye generasi baru)
-
Clint Barton (Hawkeye asli)
-
Black Panther, dalam ekspansi War for Wakanda
-
Spider-Man (eksklusif untuk konsol PlayStation)
DLC War for Wakanda dirilis pada Agustus 2021 dan mendapat tanggapan yang lebih positif. Dengan latar Wakanda yang kaya, musuh baru, dan cerita yang cukup solid, banyak pemain menilai ini sebagai konten terbaik dari game tersebut. Namun, tambahan konten tidak cukup kuat untuk membalikkan reputasi awal game yang sudah kadung tercoreng.
Kegagalan Komersial dan Penutupan Layanan
Pada awal 2023, Square Enix dan Crystal Dynamics mengumumkan bahwa pengembangan konten baru untuk Marvel’s Avengers dihentikan. Game ini resmi berhenti menerima pembaruan konten pada September 2023, dan penjualannya dihapus dari digital store pada akhir tahun itu. Meskipun mode single-player tetap bisa dimainkan, layanan live-service dan event online ditutup.
Dalam laporan keuangan, Square Enix bahkan menyebut bahwa Marvel’s Avengers tidak mencapai target penjualan dan menjadi salah satu penyebab kerugian besar perusahaan pada tahun 2020. Hal ini menunjukkan betapa besar dampak kegagalan game ini secara finansial dan reputasi industri.
Pelajaran dari Kegagalan: Terlalu Banyak Janji, Terlalu Sedikit Inovasi
Kegagalan Marvel’s Avengers menjadi pelajaran penting bagi industri game. Pertama, meskipun membawa IP populer seperti Avengers, sebuah game tetap membutuhkan pondasi gameplay yang solid, bukan hanya nama besar. Kedua, model game-as-a-service harus dirancang dengan hati-hati. Banyak pemain yang sudah jenuh dengan sistem loot box, microtransaction, dan grinding yang dipaksakan.
Masalah lainnya adalah kurangnya variasi dalam misi, AI musuh yang lemah, serta ketidakseimbangan antara konten naratif dan konten endgame. Banyak yang menyebut bahwa jika Marvel’s Avengers fokus sebagai single-player dengan cerita kuat seperti Marvel’s Spider-Man dari Insomniac Games, hasilnya akan jauh lebih baik.
Perbandingan dengan Game Superhero Lain
Ketika dibandingkan dengan game superhero lain seperti Marvel’s Spider-Man (PS4) dan Batman: Arkham series, Marvel’s Avengers jelas berada di bawah. Spider-Man berhasil memadukan narasi emosional, gameplay dinamis, dan dunia terbuka yang hidup. Sedangkan seri Arkham berhasil menggabungkan investigasi, aksi, dan karakterisasi Batman dengan mendalam.
Sayangnya, Avengers gagal menyamai kedalaman ini. Meskipun karakternya beragam, gameplay antar karakter terasa kurang seimbang dan desain dunia yang terlalu repetitif tidak memberikan ruang eksplorasi yang berarti.
Dampak terhadap Masa Depan Game Marvel
Meskipun game ini tidak berhasil, Marvel tidak menyerah dalam dunia video game. Setelah kegagalan Avengers, Marvel menggandeng studio-studio baru dengan visi berbeda. Hasilnya mulai terlihat dalam beberapa proyek besar seperti:
-
Marvel’s Spider-Man 2 (Insomniac Games) yang mendapat pujian luas.
-
Wolverine (dalam pengembangan oleh Insomniac)
-
Marvel’s Midnight Suns oleh Firaxis, dengan pendekatan strategi berbasis giliran yang unik
-
Iron Man dan Black Panther solo game oleh EA Motive dan Cliffhanger Games
Langkah ini menunjukkan bahwa Marvel kini lebih selektif dalam memilih pengembang dan pendekatan gameplay, tidak lagi terlalu bergantung pada format layanan online.
Komunitas dan Sisa Kenangan
Meski banyak kegagalan, komunitas Marvel’s Avengers tetap memiliki basis penggemar yang loyal. Banyak dari mereka masih memuji desain karakter, voice acting dari aktor seperti Troy Baker (Bruce Banner), Nolan North (Tony Stark), dan Sandra Saad (Kamala Khan). Interaksi antar karakter, cutscene sinematik, dan desain beberapa misi tetap meninggalkan kesan baik di hati sebagian pemain.
Bagi banyak orang, Marvel’s Avengers adalah proyek yang terlalu ambisius untuk dicapai dalam waktu yang terbatas. Ia menjadi simbol bahwa tidak semua IP besar bisa berhasil dalam format game, terutama jika konsep dasarnya tidak cukup kuat.
Penutup: Sebuah Ambisi yang Terlalu Berat untuk Dipikul
Marvel’s Avengers adalah cerminan dari bagaimana ekspektasi besar bisa berubah menjadi kekecewaan jika tidak dibarengi dengan eksekusi yang matang. Game ini mencoba menyatukan semua aspek yang diinginkan penggemar: aksi, cerita, co-op, dan loot, tetapi gagal menggabungkannya secara harmonis. Namun, dari kegagalan inilah lahir kesadaran baru bahwa kualitas dan visi artistik lebih penting daripada hanya mengejar model layanan dan monetisasi.
Kini, meskipun Marvel’s Avengers sudah tidak lagi beroperasi secara aktif, pengaruhnya masih terasa dalam cara industri melihat pentingnya pengalaman pemain. Ini bukan akhir bagi game superhero, melainkan awal dari pendekatan baru yang lebih berfokus pada narasi, gameplay yang solid, dan penghargaan terhadap IP yang sangat dicintai.