
Garudamuda.co.id – Sejak pertama kali diluncurkan pada tahun 2017, Destiny 2 telah berkembang menjadi salah satu game online paling kompleks dan dinamis dalam industri. Dibuat oleh Bungie—studio yang sebelumnya menciptakan seri legendaris Halo—Destiny 2 melanjutkan fondasi yang dibangun oleh Destiny (2014), dengan tujuan menggabungkan elemen shooter orang pertama (FPS) yang tajam dengan dunia persistent online ala MMORPG.
Konsep yang dibawa Destiny 2 memang unik: permainan kooperatif dan kompetitif dalam satu ekosistem, di mana pemain berperan sebagai Guardian, prajurit terpilih yang menjaga dunia dari berbagai ancaman kosmis.
Game ini bukan hanya soal menembak, tetapi juga menjelajahi dunia yang penuh mitologi, teknologi futuristik, dan konflik naratif yang mendalam. Seiring waktu, Destiny 2 menjelma dari game berbayar menjadi model free-to-play, meluncurkan berbagai ekspansi besar seperti Forsaken, Shadowkeep, Beyond Light, The Witch Queen, hingga Lightfall dan The Final Shape.
Dalam setiap iterasinya, Bungie menunjukkan bagaimana mereka terus belajar dan menyesuaikan dunia Destiny untuk menciptakan pengalaman yang terus berkembang.
Latar Cerita dan Dunia Destiny: Fantasi, Sains, dan Kosmologi Gelap
Salah satu daya tarik utama Destiny 2 adalah dunianya yang kaya akan cerita dan latar. Berlatar ribuan tahun ke depan setelah umat manusia mencapai puncak keemasan teknologi berkat entitas misterius bernama Traveler, dunia Destiny dihantui oleh kehancuran besar yang dikenal sebagai The Collapse.
Kini, umat manusia bertahan di benteng terakhir—The Last City—di bawah perlindungan Guardian dan kekuatan Light. Di seberang langit dan planet-planet lainnya, berbagai kekuatan jahat dari luar angkasa mulai menyerang, termasuk Hive, Fallen, Cabal, dan Vex.
Cerita Destiny 2 berkembang dari konflik dasar antara terang dan gelap menjadi eksplorasi moralitas, takdir, dan kekuasaan. Ekspansi demi ekspansi memperkenalkan karakter ikonik seperti Zavala, Ikora Rey, Cayde-6, Mara Sov, Savathûn, hingga The Witness—entitas antagosnis utama yang kini mengancam seluruh keberadaan realitas.
Bungie dengan piawai menggabungkan elemen mitologi, fiksi ilmiah, dan spiritualitas dalam narasi Destiny 2, menciptakan dunia yang terasa sangat hidup, penuh misteri, dan selalu layak dijelajahi.
Mekanika Gameplay: Perpaduan Presisi FPS dan Progresi RPG
Gameplay Destiny 2 dikenal karena memiliki mekanisme shooting yang sangat halus dan responsif, berkat warisan Bungie sebagai studio pembuat Halo. Setiap senjata, mulai dari hand cannon, pulse rifle, shotgun, hingga exotic weapon seperti Gjallarhorn atau Witherhoard, memiliki rasa tembak yang khas dan memuaskan.
Namun, Destiny 2 bukan hanya soal membunuh musuh dengan senjata, tetapi juga tentang mengembangkan karakter melalui sistem RPG yang kompleks. Pemain memilih satu dari tiga kelas utama—Titan, Hunter, dan Warlock—yang masing-masing memiliki gaya bermain dan subkelas berbeda seperti Arc, Solar, Void, Stasis, dan Strand.
Setiap subclass memungkinkan pemain menciptakan build yang berfokus pada skill, granat, atau buff-debuff tertentu. Progresi karakter mencakup perburuan armor terbaik, modifikasi build, serta sinkronisasi dengan senjata dan kemampuan. Bungie terus menyempurnakan sistem loot dan itemization agar pemain selalu memiliki alasan untuk menggali konten dan memperkuat Guardian mereka.
Desain Dunia dan Aktivitas PvE: Eksplorasi Tanpa Batas
Destiny 2 menghadirkan berbagai lokasi yang bisa dijelajahi secara bebas, dari reruntuhan Europa yang membeku, pegunungan bulan, hingga kota neon Neomuna di Neptunus. Setiap lokasi dirancang dengan visual luar biasa dan atmosfer yang kuat, menjadikannya lebih dari sekadar arena pertempuran.
Dalam mode PvE (Player versus Environment), pemain dapat mengikuti misi cerita, menyelesaikan Strikes (misi kooperatif 3 pemain), menjelajahi Lost Sectors, dan mengikuti event publik yang berlangsung di dunia terbuka.
Namun yang paling ikonik adalah Raids, aktivitas enam pemain yang memadukan teka-teki, koordinasi tinggi, dan boss fight menantang. Raids seperti Vault of Glass, Last Wish, Deep Stone Crypt, dan King’s Fall menjadi tonggak desain PvE Destiny 2 yang tidak hanya seru, tetapi juga membutuhkan kerja tim yang intens.
Sistem dunia terbuka yang dipenuhi pemain lain secara live juga menciptakan perasaan bahwa dunia Destiny adalah ruang hidup yang terus bergerak dan bereaksi terhadap kejadian global dalam cerita.
PVP dan Kompetisi: Crucible, Trials, dan Gambit
Selain eksplorasi dan cerita, Destiny 2 juga memiliki mode kompetitif yang luas. Crucible adalah mode PvP klasik di mana pemain saling bertarung dalam berbagai mode seperti Control, Clash, atau Survival.
Walaupun bukan fokus utama game, Crucible tetap menjadi tempat pengasahan skill dan uji senjata. Ada pula mode elit bernama Trials of Osiris, kompetisi PvP berbasis eliminasi 3v3 yang hanya tersedia setiap akhir pekan.
Trials menawarkan loot eksklusif bagi pemain yang dapat meraih flawless run (7 kemenangan tanpa kekalahan). Sementara itu, Gambit menjadi mode hybrid PvE-PvP yang unik, di mana dua tim membunuh musuh AI dan mengganggu tim lawan dengan invasi player-vs-player.
Variasi mode ini menjaga komunitas tetap aktif dan memberi ruang bagi semua jenis pemain: baik mereka yang lebih suka kerja sama maupun mereka yang haus kompetisi.
Komunitas dan Budaya Destiny: Antara Klan dan Lore Hunter
Salah satu kekuatan Destiny 2 adalah komunitasnya yang sangat berdedikasi. Dari klan-klan yang membentuk komunitas in-game hingga pemburu lore yang menganalisis setiap grimoire card dan kutipan dialog, Destiny memiliki ekosistem sosial yang dalam.
Banyak pemain membentuk hubungan erat, bahkan membentuk tim raid tetap yang bermain setiap minggu. Selain itu, komunitas konten kreator Destiny 2 sangat aktif di YouTube, Twitch, Reddit, dan Discord.
Mereka membahas build terbaik, strategi raid, hingga teori konspirasi lore yang meramalkan kejadian di masa depan. Bungie secara aktif merangkul komunitas ini melalui TWAB (This Week at Bungie), program Dev Update rutin yang menjadi jembatan antara developer dan pemain. Tidak sedikit pula seniman digital dan penulis fan fiction yang menjadikan dunia Destiny sebagai lahan kreativitas mereka.
Ekspansi dan Evolusi Konten: Model Game sebagai Layanan
Destiny 2 dirancang sebagai game layanan jangka panjang (Games as a Service), di mana konten baru diluncurkan secara berkala. Setiap tahun biasanya diselingi oleh ekspansi besar seperti Forsaken (2018), Shadowkeep (2019), Beyond Light (2020), The Witch Queen (2022), dan Lightfall (2023).
Di antara ekspansi ini, terdapat season yang masing-masing menghadirkan cerita, aktivitas, dan loot tersendiri. Sistem seasonal memungkinkan narasi game terus bergerak, memperkenalkan karakter baru, dan mengubah dunia dalam game secara progresif.
Misalnya, kota Eliksni Quarter dibangun secara perlahan selama beberapa musim, menciptakan dampak permanen yang dapat disaksikan oleh pemain. Model ini membuat Destiny 2 terasa seperti dunia hidup yang berevolusi seiring waktu, namun juga menghadirkan kritik karena mekanisme content vaulting—yakni dihapusnya konten lama demi menghemat ruang dan fokus pengembangan.
Kritik dan Kontroversi: Balancing, Monetisasi, dan Tekanan Komunitas
Seperti semua game online jangka panjang, Destiny 2 juga tidak luput dari kritik. Beberapa pemain mengeluhkan balancing PvP yang tidak konsisten, senjata tertentu yang terlalu dominan, atau subclass tertentu yang terlalu lemah.
Monetisasi juga menjadi isu, terutama setelah game beralih menjadi free-to-play namun tetap menjual season pass, ekspansi tahunan, dungeon key, dan item kosmetik melalui Eververse Store.
Ada kekhawatiran bahwa Bungie terlalu bergantung pada pembelian konten tambahan dan terlalu sering mengganti sistem loot, sehingga pemain merasa perlu selalu mengeluarkan uang untuk tetap kompetitif.
Meski demikian, Bungie berusaha menjaga transparansi dan memperbaiki sistem berdasarkan umpan balik pemain. Update besar seperti Lightfall bahkan mengubah sistem buildcrafting sepenuhnya agar lebih fleksibel dan ramah pemain baru.
Masa Depan Destiny 2: Menuju The Final Shape dan Beyond
Destiny 2 saat ini berada di fase penutup narasi besar Light and Darkness Saga, yang diperkirakan akan mencapai klimaksnya di ekspansi The Final Shape (2025). Dalam ekspansi ini, pemain akan memasuki Pale Heart of the Traveler, wilayah yang menjadi simbol akhir konfrontasi antara cahaya dan kegelapan.
Ini menjadi penutup dari cerita yang dibangun selama hampir satu dekade. Namun, Bungie sudah mengisyaratkan bahwa Destiny tidak akan berhenti setelah itu. Meskipun arah cerita baru belum diumumkan, Destiny diproyeksikan akan terus hidup sebagai platform dunia virtual yang terus berkembang.
Bahkan ada rumor bahwa Bungie tengah mengembangkan Destiny Mobile dan spin-off lain yang mengusung IP yang sama. Dengan akuisisi Bungie oleh Sony pada 2022, kemungkinan besar Destiny akan menjadi bagian penting dari ekosistem live-service PlayStation di masa depan.
Kesimpulan: Destiny 2 sebagai Simbol Dunia Game Modern
Destiny 2 adalah representasi dari game modern yang kompleks, fleksibel, dan terus berkembang. Ia bukan hanya sebuah shooter, RPG, atau MMO—tetapi sebuah dunia digital tempat jutaan pemain berkumpul, menjelajah, bertarung, dan mencari makna dalam narasi kosmik yang penuh simbolisme.
Meskipun tidak sempurna, Destiny 2 berhasil menciptakan komunitas yang loyal, desain dunia yang spektakuler, dan pengalaman gameplay yang memuaskan. Dalam era game layanan, tidak banyak judul yang mampu bertahan dan terus berevolusi selama lebih dari 7 tahun dengan skala sebesar ini.
Destiny 2 bukan hanya permainan—ia adalah pengalaman hidup, dunia paralel yang memadukan keindahan visual, mekanika presisi, dan kedalaman narasi dalam satu paket yang terus menantang batas industri game modern.